Kamis, 29 Agustus 2013

Pendukung Lahirnya GCIO



CHIEF INFORMATION OFFICER



ANALISIS PROFESI CIO DALAM PERATURAN- PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA






OLEH :
NAMA
: MANSTEVEN NOFRIANDI ELBADINAS
NIM
: 1304467






PROGRAM PASCA SARJANA
CHIEF INFORMATION OFFICER
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013


DOKUMEN LAHIRNYA KONSEP PROFESI CIO DI INDONESIA


PROFESI CIO DI INDONESIA

Profesi CIO adalah posisi strategis yang secara struktur organisasi merupakan salah satu elemen penting dalam pengambilan keputusan dalam suatu organisasi/ instansi.
Pada perusahaan swasta maupun BUMN profesi CIO sudah menjadi kebutuhan mutlak dan sudah ditempatkan pada posisi yang seharusnya.
Namun di pemerintahan keberadaan profesi CIO belum mendapat perhatian serius dan cenderung mendapat respon yang lambat, hal ini terlihat dari Undang-undang dan Peraturan yang terlambat dikeluarkan.
Dari 2 aturan sebelumnya (Inpres no. 23/2003 dan UU no.11/2008) pemerintah tidak menjelaskan dimana posisi CIO, dalam aturan tersebut lebih banyak menjelaskan tentang aspek teknologi informasi dan implementasinya dalam pemerintahan (e-government)

Implementasikan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik (KIP) terkait dengan Chief Information Officer (CIO)

Dalam perjalanannya Profesi CIO baru disinggung dalam UU No. 14 tentang keterbukaan informasi publik, yang dapat dilihat pada Bab I tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Bab VII tentang Komisi informasi. Namun dalam UU tersebut tetap saja profesi CIO bukanlah sebagai bagian vital dalam pengambilan suatu keputusan.
Dalam Undang-undang tersebut disebutkan Pejabat  Pengelola  Informasi  dan  Dokumentasi  adalah  pejabat  yang  bertanggung  jawab  di  bidang  penyimpanan,  pendokumentasian,   penyediaan,   dan/ atau  pelayanan  informasi  di Badan Publik. 
Sedangkan Komisi  Informasi  adalah  lembaga mandiri  yang  ber fungsi menjalankan Undang-Undang  ini  dan  peraturan  pelaksanaannya  menetapkan petunjuk  teknis  standar   layanan  informasi  publ ik  dan  menyelesaikan Sengketa  Informasi  Publik  melalui  Mediasi  dan/ atau  Ajudikasi  nonlitigasi.
Komisi Informasi ber tugas: 
  1. Menerima, memeriksa,  dan  memutus  permohonan penyelesaian  Sengketa  Informasi  Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi non litigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
  2. Menetapkan  kebijakan  umum  pelayanan  Informasi  Publik;  dan
  3. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. 

Namun jika kita amati dalam kenyataan di lapangan, profesi CIO belumlah sesuai yang diamanatkan dalam UU tersebut, para CIO masih tetap berada pada level teknis atau sekedar Pejabat pengelola informasi. Hal ini karena pemerintahan kita saat ini masih banyak dipengaruhi oleh campur tangan politik sehingga fungsi CIO tidak terlalu diperhatikan.
            Pasal 4 UU 14/2008 tentang KIP menjelaskan bahwa hak setiap orang adalah: (a) melihat dan mengetahui informasi publik, (b) menghadiri pertemuan yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik, (c) mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-undang, (d) menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Ketentuan tertulis KIP diawali oleh inisiatif DPR dengan dicanangkannya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), hingga diundangkan pada tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4846 dan berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
            Implementasi KIP yang didasarkan atas UU No. 14 Tahun 2008 sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi, (2) kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana, (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas, dan (4) kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Untuk mencapai kesuksesan implementasi UU KIP tersebut dibutuhkan kerjasama tidak hanya dari satu pihak, melainkan sinergi dari peran pemerintah, masyarakat, dan ketaatan pada aturan yang dibuat. Untuk mencapai layanan publik yang efektif dan efisien, maka pemerintah harus menerapkan prinsip Good Governance yang meliputi: akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, dan partisipasi.
            Di Asia-Pasifik, forum APECTEL (Asia Pacific Economy Cooperation Telecomunication) mendefinisikan dua peran utama Government CIO (GCIO) yaitu: (1) Enterprise leadership in information and IT management and provision to support future projects for competitive business value, dan (2) Management of daily delivery of IT/IS services. Definisi  peran GCIO (Government CIO) menurut  APECTEL perlu  disesuaikan  dengan  kondisi lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Enterprise leadership harus diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang mencakup seluruh  struktur  perangkat  daerah.  Information and IT management provision  mutlak dilakukan,  tetapi tentunya dalam  konteks  lokal  sesuai dengan kondisidan kebutuhan pemerintah kabupaten/ kota.

            Teknologi informasi yang dapat diimplementasikan pada badan publik dan atau pihak terkait lainnya dalam rangka mendukung  pelaksanaan  UU  KIP.  Dukungan teknis tersebut dapat berupa penyediaan infrastruktur, aplikasi, jasa komunikasi, dan lainnya. Selain itu, proses penyediaan informasi yang  kredibel, cepat dan mudah diakses oleh publik membutuhkan strategi yang sistematis dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki dan didukung oleh teknologi yang tepat. Salah satu sumber daya yang memiliki  peran strategis adalah SDM pengelola informasi, yang dalam nomenklatur UU KIP disebut sebagai Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID). Model layanan informasi dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Tahun 2010 adalah tahun berlakunya UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) , dan Depkominfo melalui Badan Litbang SDM melihat adanya kebutuhan atau ketersediaan CIO yang cakap agar daerah mampu mengimplementasikan UU KIP dengan efektif. Pokok penting ini mengemuka dalam Bimbingan Teknis Pengembangan SDM Program (CIO), pada 23-25 Juni 2009 lalu di Bandung yang diselenggarakan oleh Badan Litbang SDM melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Profesi, Depkominfo.
       Target Pengembangan SDM CIO mulai tahun 2010 sampai 2014 yang dibiayai oleh Pemerintah RI meliputi pelatihan CIO sebanyak 2.500 kuota (rata-rata 500 kuota per tahun) dan beasiswa S2/S3 di dalam/luar negeri sebanyak 1.350 kuota (rata-rata 300 kuota per tahun).

Langkah-langkah strategis dalam mengembangkan Chief Information Officer (CIO)
 di Indonesia
            Dalam Implementasikan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Impres No.3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, Kementerian Hukum dan HAM mendukung program yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah banyak upaya- upaya yang dilakukan  antara lain :
1.       Sosialisasi pemahaman terkait dengan Chief Information Officer (CIO)
2.       Bimbingan Teknis dan Sertifikasi Profesi Government Chief Information Officer (G-CIO) atau yang sering disebut sebagai Pejabat Pengelola Informasi (PPID).
3.       Beasiswa Magister Chief Information Officer (CIO) bekerja sama dengan Universitas terkemuka di Indonesia.
Konsep tentang Government CIO (GCIO) telah dikenal dan dipraktekkan secara luas di luar negeri. Di lingkungan Asia-Pasifik misalnya, forum APECTEL mendefinisikan peran GCIO dalam dua poin besar:
·         Enterprise leadership in information and IT management and provision to support future projects for competitive business value
·         Management of daily delivery of IT/IS services
Definisi peran GCIO menurut APECTEL perlu disesuaikan dengan kondisi lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia, terutama di lingkungan pemerintah daerah. “Enterprise leadership” harus diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang mencakup seluruh struktur perangkat daerah. “Information and IT management provision” memang mutlak harus dilakukan, tentu dalam konteks lokal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah kabupaten/kota. Hanya saja penyediaan informasi dan TIK tersebut harus ditempatkan dalam kerangka tugas lembaga-lembaga pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.
Dalam konteks Indonesia, pada akhirnya peran GCIO tidak dapat dilepaskan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan e-government di semua perangkat pemerintahan. Hampir semua lembaga pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, saat ini masih berada dalam tataran “mulai mengenal” pemanfaatan TIK untuk berbagai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataan ini dicirikan dengan banyaknya program-program pengembangan TIK seperti pembuatan website, pengembangan sistem-sistem informasi, pembangunan jaringan komputer dan koneksi Internet, serta pelatihan SDM TIK. Semua program tersebut memang mengarah pada implementasi e-government, tetapi itu saja tidak cukup. Perlu ada “perekat” yang mengintegrasikan semua usaha tersebut dengan “roh” dari penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, karena pada akhirnya TIK hanyalah berfungsi sebagai enabler untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Pada umumnya implementasi TIK yang efektif selalu memerlukan perubahan/penyelarasan pada aspek-aspek yang lain. Dalam konteks pemerintahan, implementasi TIK harus disertai juga penyelarasan tujuan dan sistem birokrasi yang ada. Pada kenyataannya, proses asimilasi TIK ke sistem birokrasi, atau bahkan reformasi sistem birokrasi itu sendiri sebagai syarat mengefektifkan implementasi TIK, tidaklah mudah dilakukan karena berbagai kendala. Dalam posisi inilah GCIO (dan staf lain yang berperan sebagai information officers – IO) memegang peranan penting. GCIO (dan IO) berperan sebagai agent of change: menjadi promotor perubahan, menetapkan arahan dan kebijakan, dan merencanakan, mengeksekusi, serta mengevaluasi berbagai program yang terkait dengan implementasi TIK.


Menurut PP 41/2007, tugas Dinas adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Subbidang TIK bertugas mengusulkan, mengadakan, dan menjalankan program-program pemanfaatan TIK yang mendukung tugas dinas yang menaunginya. Program-program yang diusulkan harus sejalan dengan kebijakan perencanaan TIK daerah yang dibuat oleh Bidang Perencanaan TIK Bappeda, sehingga koordinasi antara dua unit ini pada saat pengusulan program (dan anggaran) menjadi mutlak diperlukan.
Subbidang TIK menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
·         Mengkoordinasikan kebutuhan dan usulan program pengembangan TIK di lingkungan dinas atau lembaga teknis yang menaunginya
·         Merumuskan kebijakan teknis untuk pemanfaatan TIK sesuai dengan lingkup tugas dinas atau lembaga teknis yang menaunginya
·         Mengusulkan program dan kegiatan dalam rangka pemanfaatan TIK, dengan memperhatikan arahan kebijakan perencanaan sistem dan teknologi informasi daerah
·         Mengoperasikan dan memelihara sarana dan fasilitas sistem dan teknologi informasi di lingkungan dinas atau lembaga teknis yang menaunginya

GCIO pada tingkat ini adalah Kepala Subbidang TIK di dinas atau lembaga teknis daerah. Bidang tugasnya bersifat manajemen operasional, dan mencakup perencanaan dan pengusulan program, eksekusi program, operasional, dan evaluasi program/kegiatan.

Kesimpulan :

Perubahan menjadi kebutuhan setiap organisasi dewasa ini seiring dengan meningkatnya persaingan. Organisasi harus mampu menciptakan strategi yang unik yang memilikikeunggulan kompetitif dari organisasi pesaingnya. Pertimbangan investasipun muncul tidak terbatas pada usaha mengembangkan organisasi menjadi lebih besar. Organisasi mulai melirik strategi investasi baru yang dianggap mampu memberikankeunikan dari proses bisnis mereka. Teknologi informasipun menjadi alternative pilihan tersebut.
Keberadaan teknologi informasi padas ebuah organisasi ternayata tidak dapat menunjukkan keunggulannya apabila tidak dibarengi dengan adanya perubahan total pada proses bisnis organisasi. Setiap bagian dari organisas harus menyadari bahwasanya perubahan proses bisnis adalah langkah yang harus dilakukan jika ingin memenangkan persaingan. Melalui Business Process Reengineering (BPR) dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai tools pendukung, organisasi berkeyakinan telah memiliki keunggulan kompetitif yang diharapkan dapat memenangkan setiap bentuk persaingan bisnis. Tetapi hal ini tidaklah semudah yang dipikirkan. Banyak organisai yang berhasil dalam reengineering dan memperoleh competitive advantage, tetapi banyak pula organisasi yang mengalami kegagalan dalam proses reengineering tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat 4 faktor utama penyebab kegagalan dalam melakukan reengineering yaitu menolak untuk berubah, kurangnya komitmen manajemen, sistem informasiyang kurang memadai dan kurangnya keleluasaan (breatdh) dan kedalaman (depth)analisis terhadap faktor-faktor kritis reengineering.
Untuk mengeleminir keempat faktor utama penyebab kegagalan tersebut dibutuhkanlah seorang figure yang mampu menjembatani antara kepentingan bisnis dengan kepentingan organisasi. CIO memiliki kompetensi yang tepat karena selain memiliki kemampuan dalam pengetahuan teknologi, juga memiliki kemampuan dalamhal manajerial. Kombinasi antara kemampuan yang dimiliki akan menghantarkan organisasi mencapai puncak keberhasilan reengineering.
CIO harus menyelaraskan antara perubahan proses bisnis dengan budaya organisasi. Dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Top Management Team (TMT) serta mengimplementasikan StrategicAlignment Model (SAM), CIO akan mampu menciptakan keunggulan kompetitif baru yang diharapkan akan mampu membawa perubahan besar pada struktur dan tujuan organisasi, termasuk diantaranya dalam membangun Egovernment.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar