CHIEF INFORMATION OFFICER
ANALISIS
PROFESI CIO DALAM PERATURAN- PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
OLEH :
|
|
NAMA
|
: MANSTEVEN NOFRIANDI ELBADINAS
|
NIM
|
: 1304467
|
PROGRAM PASCA SARJANA
CHIEF INFORMATION OFFICER
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
DOKUMEN LAHIRNYA KONSEP PROFESI CIO DI
INDONESIA
PROFESI
CIO DI INDONESIA
Profesi CIO
adalah posisi strategis yang secara struktur organisasi merupakan salah satu
elemen penting dalam pengambilan keputusan dalam suatu organisasi/ instansi.
Pada
perusahaan swasta maupun BUMN profesi CIO sudah menjadi kebutuhan mutlak dan
sudah ditempatkan pada posisi yang seharusnya.
Namun
di pemerintahan keberadaan profesi CIO belum mendapat perhatian serius dan
cenderung mendapat respon yang lambat, hal ini terlihat dari Undang-undang dan
Peraturan yang terlambat dikeluarkan.
Dari
2 aturan sebelumnya (Inpres no. 23/2003 dan UU no.11/2008) pemerintah tidak
menjelaskan dimana posisi CIO, dalam aturan tersebut lebih banyak menjelaskan
tentang aspek teknologi informasi dan implementasinya dalam pemerintahan
(e-government)
Implementasikan Undang-Undang No 14
Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik (KIP) terkait dengan Chief
Information Officer (CIO)
Dalam
perjalanannya Profesi CIO baru disinggung dalam UU No. 14 tentang keterbukaan
informasi publik, yang dapat dilihat pada Bab I tentang Pejabat Pengelola
Informasi dan Bab VII tentang Komisi
informasi. Namun dalam UU tersebut tetap saja profesi CIO bukanlah sebagai
bagian vital dalam pengambilan suatu keputusan.
Dalam
Undang-undang tersebut disebutkan Pejabat
Pengelola Informasi dan
Dokumentasi adalah pejabat
yang bertanggung jawab
di bidang penyimpanan,
pendokumentasian,
penyediaan, dan/ atau pelayanan
informasi di Badan Publik.
Sedangkan
Komisi
Informasi adalah lembaga mandiri yang
ber fungsi menjalankan Undang-Undang
ini dan peraturan
pelaksanaannya menetapkan
petunjuk teknis standar
layanan informasi publ ik
dan menyelesaikan Sengketa Informasi
Publik melalui Mediasi
dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi.
Komisi Informasi ber tugas:
- Menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi non litigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
- Menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan
- Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Namun jika kita amati dalam kenyataan
di lapangan, profesi CIO belumlah sesuai yang diamanatkan dalam UU tersebut,
para CIO masih tetap berada pada level teknis atau sekedar Pejabat pengelola
informasi. Hal ini karena pemerintahan kita saat ini masih banyak dipengaruhi
oleh campur tangan politik sehingga fungsi CIO tidak terlalu diperhatikan.
Pasal 4 UU 14/2008 tentang KIP menjelaskan
bahwa hak setiap orang adalah: (a) melihat dan mengetahui informasi publik, (b)
menghadiri pertemuan yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik,
(c) mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan sesuai dengan
Undang-undang, (d) menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan tertulis KIP diawali
oleh inisiatif DPR dengan dicanangkannya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik (KMIP), hingga diundangkan pada tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4846
dan berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
Implementasi KIP yang didasarkan atas UU No. 14 Tahun 2008 sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi, (2) kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana, (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas, dan (4) kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Untuk mencapai kesuksesan implementasi UU KIP tersebut dibutuhkan kerjasama tidak hanya dari satu pihak, melainkan sinergi dari peran pemerintah, masyarakat, dan ketaatan pada aturan yang dibuat. Untuk mencapai layanan publik yang efektif dan efisien, maka pemerintah harus menerapkan prinsip Good Governance yang meliputi: akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, dan partisipasi.
Implementasi KIP yang didasarkan atas UU No. 14 Tahun 2008 sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi, (2) kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana, (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas, dan (4) kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Untuk mencapai kesuksesan implementasi UU KIP tersebut dibutuhkan kerjasama tidak hanya dari satu pihak, melainkan sinergi dari peran pemerintah, masyarakat, dan ketaatan pada aturan yang dibuat. Untuk mencapai layanan publik yang efektif dan efisien, maka pemerintah harus menerapkan prinsip Good Governance yang meliputi: akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, dan partisipasi.
Di Asia-Pasifik, forum APECTEL (Asia
Pacific Economy Cooperation Telecomunication) mendefinisikan dua peran utama
Government CIO (GCIO) yaitu: (1) Enterprise leadership in information and IT
management and provision to support future projects for competitive business
value, dan (2) Management of daily delivery of IT/IS services. Definisi
peran GCIO (Government CIO) menurut APECTEL perlu disesuaikan
dengan kondisi lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia, terutama di
lingkungan pemerintah daerah. Enterprise leadership harus diterjemahkan sebagai
kepemimpinan yang mencakup seluruh struktur perangkat
daerah. Information and IT management provision mutlak
dilakukan, tetapi tentunya dalam konteks lokal sesuai
dengan kondisidan kebutuhan pemerintah kabupaten/ kota.
Teknologi informasi yang dapat
diimplementasikan pada badan publik dan atau pihak terkait lainnya dalam rangka
mendukung pelaksanaan UU KIP. Dukungan teknis tersebut
dapat berupa penyediaan infrastruktur, aplikasi, jasa komunikasi, dan lainnya.
Selain itu, proses penyediaan informasi yang kredibel, cepat dan mudah
diakses oleh publik membutuhkan strategi yang sistematis dengan memanfaatkan
semua sumber daya yang dimiliki dan didukung oleh teknologi yang tepat. Salah
satu sumber daya yang memiliki peran strategis adalah SDM pengelola
informasi, yang dalam nomenklatur UU KIP disebut sebagai Pejabat Pengelola
Informasi Daerah (PPID). Model layanan informasi dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Tahun 2010
adalah tahun berlakunya UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) , dan Depkominfo
melalui Badan Litbang SDM melihat adanya kebutuhan atau ketersediaan CIO yang
cakap agar daerah mampu mengimplementasikan UU KIP dengan efektif. Pokok
penting ini mengemuka dalam Bimbingan Teknis Pengembangan SDM Program (CIO),
pada 23-25 Juni 2009 lalu di Bandung yang diselenggarakan oleh Badan Litbang
SDM melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Profesi, Depkominfo.
Target Pengembangan SDM CIO mulai tahun
2010 sampai 2014 yang dibiayai oleh Pemerintah RI meliputi pelatihan CIO
sebanyak 2.500 kuota (rata-rata 500 kuota per tahun) dan beasiswa S2/S3 di dalam/luar
negeri sebanyak 1.350 kuota (rata-rata 300 kuota per tahun).
Langkah-langkah strategis dalam mengembangkan Chief Information Officer (CIO) di Indonesia
Dalam Implementasikan Undang-Undang
No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Impres No.3
tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government,
Kementerian Hukum dan HAM mendukung program yang diselenggarakan Kementerian
Komunikasi dan Informatika telah banyak upaya- upaya yang dilakukan antara lain :
1.
Sosialisasi
pemahaman terkait dengan Chief Information Officer (CIO)
2.
Bimbingan
Teknis dan Sertifikasi Profesi Government Chief Information Officer (G-CIO)
atau yang sering disebut sebagai Pejabat Pengelola Informasi (PPID).
3.
Beasiswa
Magister Chief Information Officer (CIO) bekerja sama dengan Universitas
terkemuka di Indonesia.
Konsep
tentang Government CIO (GCIO) telah dikenal dan dipraktekkan secara luas di
luar negeri. Di lingkungan Asia-Pasifik misalnya, forum APECTEL mendefinisikan
peran GCIO dalam dua poin besar:
·
Enterprise leadership in information
and IT management and provision to support future projects for competitive
business value
·
Management of daily delivery of IT/IS
services
Definisi peran GCIO menurut APECTEL
perlu disesuaikan dengan kondisi lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia,
terutama di lingkungan pemerintah daerah. “Enterprise
leadership” harus diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang mencakup seluruh
struktur perangkat daerah. “Information
and IT management provision” memang mutlak harus dilakukan, tentu dalam
konteks lokal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah kabupaten/kota.
Hanya saja penyediaan informasi dan TIK tersebut harus ditempatkan dalam
kerangka tugas lembaga-lembaga pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.
Dalam
konteks Indonesia, pada akhirnya peran GCIO tidak dapat dilepaskan dengan
rencana pemerintah untuk menerapkan e-government di semua perangkat
pemerintahan. Hampir semua lembaga pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun
daerah, saat ini masih berada dalam tataran “mulai mengenal” pemanfaatan TIK
untuk berbagai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataan ini dicirikan
dengan banyaknya program-program pengembangan TIK seperti pembuatan website,
pengembangan sistem-sistem informasi, pembangunan jaringan komputer dan koneksi
Internet, serta pelatihan SDM TIK. Semua program tersebut memang mengarah pada
implementasi e-government, tetapi itu saja tidak cukup. Perlu ada “perekat”
yang mengintegrasikan semua usaha tersebut dengan “roh” dari penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, karena pada akhirnya TIK
hanyalah berfungsi sebagai enabler
untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Pada
umumnya implementasi TIK yang efektif selalu memerlukan perubahan/penyelarasan
pada aspek-aspek yang lain. Dalam konteks pemerintahan, implementasi TIK harus
disertai juga penyelarasan tujuan dan sistem birokrasi yang ada. Pada
kenyataannya, proses asimilasi TIK ke sistem birokrasi, atau bahkan reformasi
sistem birokrasi itu sendiri sebagai syarat mengefektifkan implementasi TIK,
tidaklah mudah dilakukan karena berbagai kendala. Dalam posisi inilah GCIO (dan
staf lain yang berperan sebagai information officers – IO) memegang peranan penting.
GCIO (dan IO) berperan sebagai agent of
change: menjadi promotor perubahan, menetapkan arahan dan kebijakan, dan
merencanakan, mengeksekusi, serta mengevaluasi berbagai program yang terkait
dengan implementasi TIK.
Menurut PP 41/2007, tugas Dinas adalah
melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Subbidang TIK bertugas mengusulkan, mengadakan, dan menjalankan
program-program pemanfaatan TIK yang mendukung tugas dinas yang menaunginya.
Program-program yang diusulkan harus sejalan dengan kebijakan perencanaan TIK
daerah yang dibuat oleh Bidang Perencanaan TIK Bappeda, sehingga koordinasi
antara dua unit ini pada saat pengusulan program (dan anggaran) menjadi mutlak
diperlukan.
Subbidang
TIK menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
·
Mengkoordinasikan
kebutuhan dan usulan program pengembangan TIK di lingkungan dinas atau lembaga
teknis yang menaunginya
·
Merumuskan
kebijakan teknis untuk pemanfaatan TIK sesuai dengan lingkup tugas dinas atau
lembaga teknis yang menaunginya
·
Mengusulkan
program dan kegiatan dalam rangka pemanfaatan TIK, dengan memperhatikan arahan
kebijakan perencanaan sistem dan teknologi informasi daerah
·
Mengoperasikan
dan memelihara sarana dan fasilitas sistem dan teknologi informasi di
lingkungan dinas atau lembaga teknis yang menaunginya
GCIO
pada tingkat ini adalah Kepala Subbidang TIK di dinas atau lembaga teknis
daerah. Bidang tugasnya bersifat manajemen operasional, dan mencakup
perencanaan dan pengusulan program, eksekusi program, operasional, dan evaluasi
program/kegiatan.
Kesimpulan :
Perubahan
menjadi kebutuhan setiap organisasi dewasa ini seiring dengan meningkatnya
persaingan. Organisasi harus mampu menciptakan strategi yang unik yang
memilikikeunggulan kompetitif dari organisasi pesaingnya. Pertimbangan
investasipun muncul tidak terbatas pada usaha mengembangkan organisasi menjadi
lebih besar. Organisasi mulai melirik strategi investasi baru yang dianggap
mampu memberikankeunikan dari proses bisnis mereka. Teknologi informasipun
menjadi alternative pilihan tersebut.
Keberadaan
teknologi informasi padas ebuah organisasi ternayata tidak dapat menunjukkan
keunggulannya apabila tidak dibarengi dengan adanya perubahan total pada proses
bisnis organisasi. Setiap bagian dari organisas harus menyadari bahwasanya
perubahan proses bisnis adalah langkah yang harus dilakukan jika ingin
memenangkan persaingan. Melalui Business Process Reengineering (BPR)
dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai tools pendukung, organisasi berkeyakinan
telah memiliki keunggulan kompetitif yang diharapkan dapat memenangkan setiap
bentuk persaingan bisnis. Tetapi hal ini tidaklah semudah yang dipikirkan.
Banyak organisai yang berhasil dalam reengineering dan
memperoleh competitive advantage, tetapi banyak pula organisasi
yang mengalami kegagalan dalam proses reengineering tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat 4 faktor utama penyebab
kegagalan dalam melakukan reengineering yaitu menolak untuk berubah,
kurangnya komitmen manajemen, sistem informasiyang kurang memadai dan kurangnya
keleluasaan (breatdh) dan kedalaman (depth)analisis terhadap
faktor-faktor kritis reengineering.
Untuk mengeleminir
keempat faktor utama penyebab kegagalan tersebut dibutuhkanlah seorang figure yang
mampu menjembatani antara kepentingan bisnis dengan kepentingan organisasi. CIO memiliki kompetensi yang tepat karena
selain memiliki kemampuan dalam pengetahuan teknologi, juga memiliki kemampuan
dalamhal manajerial. Kombinasi antara kemampuan yang dimiliki akan
menghantarkan organisasi mencapai puncak keberhasilan reengineering.
CIO harus menyelaraskan
antara perubahan proses bisnis dengan budaya organisasi. Dengan menjalin
komunikasi yang baik dengan Top Management Team (TMT) serta
mengimplementasikan StrategicAlignment Model (SAM), CIO akan mampu
menciptakan keunggulan kompetitif baru yang diharapkan akan mampu membawa
perubahan besar pada struktur dan tujuan organisasi, termasuk diantaranya dalam
membangun Egovernment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar